Beranda | Artikel
Fikih Penyembelihan Hewan (Bag. 3)
10 jam lalu

Kebutuhan masyarakat Muslim terhadap daging semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini tidak hanya mendorong peningkatan produksi lokal, tetapi juga membuka pintu bagi impor daging dari berbagai negara, termasuk negara-negara non-Muslim. Di sisi lain, suara kritis dari para aktivis hewan semakin nyaring, menyoroti metode penyembelihan dalam Islam yang mereka nilai sebagai tindakan penyiksaan (animal abuse).

Pada artikel ketiga ini, kita akan membahas kedua permasalahan tersebut: (1) hukum fikih terkait daging impor dari negara non-Muslim, dan (2) klarifikasi terhadap tuduhan bahwa penyembelihan Islami menyiksa hewan.

Hukum impor daging dari negara non-Muslim

Beberapa negara Islam mengimpor berbagai jenis daging (hewan sembelihan) dari negara-negara non-Islam, seperti domba, sapi, dan lainnya. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

Jika berasal dari negara Ahli Kitab

Jika berasal dari negara Ahli Kitab, maka hukumnya halal bagi kaum Muslimin berdasarkan nash (dalil tegas) dari Al-Qur’an, selama tidak diketahui bahwa penyembelihannya dilakukan dengan cara yang tidak sesuai syariat.

Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian segala yang baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah: 5)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

اللحوم التي تباع في أسواق دول غير إسلامية، إن علم أنها من ذبائح أهل الكتاب فهي حل للمسلمين، إذا لم يعلم أنها ذبحت على غير الوجه الشرعي، إذ الأصل حلها بالنص القرآني فلا يعدل عن ذلك إلا بأمر محقق يقتضي تحريمها.

“Daging yang dijual di pasar negara non-Islam, jika diketahui berasal dari sembelihan Ahli Kitab, maka halal bagi kaum Muslimin. Hal ini selama tidak diketahui bahwa ia disembelih dengan cara yang tidak sesuai syariat. Hukum asalnya adalah halal berdasarkan nash Al-Qur’an, dan tidak boleh berpindah dari hukum asal ini kecuali dengan bukti nyata yang mengharamkannya.”

Jika berasal dari negara selain Ahli Kitab

Jika berasal dari negara selain Ahli Kitab, maka tidak boleh memakannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

أجمع علماء الإِسلام على تحريم ذبائح المشركين من عباد الأوثان ومنكري الأديان ونحوهم من جميع أصناف الكفار غير اليهود والنصارى

“Para ulama Islam sepakat atas haramnya sembelihan orang-orang musyrik, penyembah berhala, pengingkar agama, dan yang semisalnya dari seluruh golongan orang kafir selain Yahudi dan Nasrani.” [1]

Bagaimana jika ragu?

Sebagaian kaum muslimin, khususnya dari kalangan penuntut ilmu, kadang merasa ragu dalam hal ini, dengan dasar pemahaman dari hadis,

إنَّ الحلالَ بيِّنٌ وإنَّ الحرامَ بيِّنٌ وبينهما أمورٌ مُشتبِهاتٌ لا يعلمهنَّ كثيرٌ من الناس فمنِ اتَّقى الشُّبُهاتِ استبرأ لدِينِه وعِرضِه …

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjauhi perkara-perkara yang samar, berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya…” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dan lafaz ini milik Muslim)

Para ulama dari Lajnah Daimah pernah ditanya, “Apa hukum daging kalengan impor dari luar negeri? Dan bagaimana cara mengompromikan antara hadis, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara samar yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjauhi perkara-perkara yang samar, sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa terjatuh dalam perkara samar, ia terjatuh ke dalam yang haram” (HR. Bukhari, Kitab al-Iman no. 52; Muslim, Kitab al-Musaqat no. 1599)

dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan dinyatakan hasan dalam Jami‘ at-Tirmidzi, dari Simak bin Harb, ia berkata, “Aku mendengar Qabishah bin Hulb menceritakan dari ayahnya, ia berkata,

سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن طعام النصارى فقال: لا يتخلجن في صدرك طعام ضارعت فيه النصرانية

“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makanan orang-orang Nasrani. Beliau pun bersabda, ‘Janganlah ada keraguan di hatimu terhadap makanan yang diolah oleh orang Nasrani.’” (Sunan at-Tirmidzi, Kitab as-Siyar no. 1565; Sunan Abu Dawud, Kitab al-At‘imah no. 3784; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5: 226)

Lajnah Daimah menjawab,

“Tidak ada pertentangan antara kedua hadis tersebut. Makanan Ahli Kitab terbagi menjadi tiga keadaan:

1) Jika kita tahu bahwa mereka menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, maka hukumnya halal, termasuk dalam bagian pertama dari hadis: “Yang halal itu jelas.”

2) Jika kita tahu bahwa mereka menyebut nama selain Allah, maka hukumnya haram, termasuk dalam bagian kedua dari hadis: “Yang haram itu jelas.”

3) Jika kita tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah atau nama selain-Nya, maka kita kembali kepada hukum asal, yaitu halal sembelihan mereka.

Adapun makanan yang tidak memerlukan proses penyembelihan atau penyembelihan hewan, seperti roti, maka tidak ada masalah dalam memakannya.” [2]

Oleh karena itu, jika impor berasal dari negeri Ahli Kitab, dan kita tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah atau nama selain-Nya; maka kita kembali kepada hukum asal, yaitu halalnya sembelihan mereka. Wallahu Ta’ala a’lam.

Kritik aktivis hewan: Menyembelih hewan menurut Islam yang dianggap menyiksa

Isu animal abuse

Sejumlah komunitas aktivis pembela hak hewan khususnya di wilayah Barat, seringkali beropini bahwa penyembelihan hewan-hewan kurban itu bertentangan dengan hak-hak kebinatangan, dengan dalih metode penyembelihannya masuk dalam kategori animal abuse. [3]

Untuk menjawab isu tersebut, kita perlu ketahui terlebih dahulu tentang animal abuse, kemudian jawaban syariat Islam atas tuduhan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.

Definisi animal abuse

Animal abuse didefinisikan sebagai tindakan yang sengaja menyakiti, melukai, atau merusak kesehatan hewan, tidak memberi makanan atau minuman, dan tindakan kekerasan yang hingga kini masih seringkali tidak diperhatikan, misalnya seperti memotong kuping dan ekor anjing yang ditujukan untuk sekedar keindahan, melakukan eksploitasi terhadap hewan untuk kepentingan sirkus, mengebiri, dan menggunakan hewan sebagai uji coba keperluan medis atau kedokteran (vivisectie) dengan di luar batas dan kelaziman. [4]

Jawaban syariat Islam

Syariat Islam sangat menjunjung kasih sayang antar sesama makhluk hidup, termasuk hewan. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kasih sayang terhadap hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الله كتَبَ الإحسانَ على كُلِّ شيءٍ، فإذَا قَتَلْتُم فَأحْسِنُوا القِتْلَة، وإذا ذَبَحْتُم فَأحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وليُحِدَّ أحدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وليُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan (baik) pada segala sesuatu. Jika kalian membunuh (hewan), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih (hewan), maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim no. 1955)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan,

فلهذا أمر النبيُّ صلى الله عليه وسلم بإحسانِ القتلِ والذبح، وأمر أن تُحَدَّ الشفرةُ، وأن تُراح الذبيحة، يشير إلى أن الذبح بالآلة الحادة يُرِيحُ الذبيحة بتعجيل زهوق نفسها.

“Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berbuat baik ketika membunuh (hewan yang boleh dibunuh) dan ketika menyembelih, serta memerintahkan agar pisau diasah tajam dan hewan disembelih dengan cara yang membuatnya nyaman. Ini menunjukkan bahwa penyembelihan dengan alat yang tajam akan membuat hewan lebih tenang karena mempercepat keluarnya nyawa.”

Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menajamkan pisau dan agar disembunyikan dari hewan, serta bersabda,

إذا ذَبَحَ أحدُكُم، فليُجْهِزْ

“Apabila salah seorang dari kalian menyembelih, hendaklah ia menyempurnakan (penyembelihan),” maksudnya: hendaklah ia mempercepat proses penyembelihan. [5]

Maka, penyembelihan dalam Islam bukanlah bentuk kekerasan, tetapi justru cara paling cepat memutus nyawa hewan dengan meminimalisir rasa sakit.

Bahkan, secara umum, Islam memerintahkan untuk menyayangi seluruh makhluk hidup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ.

Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahmān Tabāraka wa Ta‘ālā. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4941 dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani)

Dengan demikian, tuduhan penyiksaan atau kekerasan terhadap hewan (animal abuse) terhadap proses penyembelihan yang sesuai dengan syariat Islam, merupakan tuduhan yang tidak benar. Islam justru mengajarkan cara penyembelihan yang paling baik bagi hewan, dan memerintahkan untuk menyayangi seluruh hewan secara umum. Wallahu Ta’ala a’lam.

Penutup umum

Rangkaian tiga artikel Fikih Penyembelihan Hewan ini telah membahas secara berurutan:

Bagian pertama: landasan fikih klasik, mulai dari definisi, hukum, syarat, waktu, adab, dan larangan penyembelihan.

Bagian kedua: permasalahan kontemporer seperti penyembelihan mekanis, hukum menyebut nama Allah, dan pembiusan sebelum penyembelihan.

Bagian ketiga: hukum impor daging dari negara non-Muslim serta klarifikasi terhadap tuduhan penyiksaan hewan.

Keseluruhan pembahasan ini menunjukkan betapa syariat Islam mengatur penyembelihan dengan prinsip kehalalan dan kasih sayang terhadap hewan, serta tetap relevan untuk menjawab tantangan zaman.

Semoga pembahasan ini menjadi bekal ilmu yang bermanfaat, menumbuhkan keyakinan akan kesempurnaan syariat Allah, dan memandu kita dalam mengamalkannya dengan benar di setiap keadaan.

[Selesai]

***

Rumdin PPIA Sragen, 15 Shafar 1447

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi utama:

Al-Hambali, Abdurrahman Ibnu Rajab. Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam. Saudi Arabia: Dar Ibnul Jauzi, 1431.

Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M.

 

Catatan kaki:

[1] Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 24; dengan sedikit penyesuaian. Lihat juga fatwa no. 949 dari Lajnah Daimah di Saudi Arabia yang membahas hukum daging impor dan sejalan dengan penjelasan ini.

[2] Fatwa Lajnah Daimah – Jilid Pertama, 22: 402; Fatwa no. 4159.

[3] Ibadah Kurban Bukan Bagian dari Animal Abuse!

[4] Adhaini, Soraya Noer, dan Untung Sumarwan. “Motif Pelaku Kekerasan terhadap Perlindungan dan Penegakan Hukum pada Hewan Peliharaan dalam Perspektif Kontrol Sosial.” Jurnal Anomie, vol. 5, no. 2, Agustus 2023, hal. 101–122. Program Studi Kriminologi, Universitas Budi Luhur, Jakarta.

[5] Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, hal. 287.


Artikel asli: https://muslim.or.id/108460-fikih-penyembelihan-hewan-bag-3.html